3/05/2013

Detik-Detik Mencekam


Pada hari Kamis 22 Februari 2007 di bed 3 ruang IMCC pada jam 08.00 WIB saya menunggu detik-detik perjuangan untuk mempertahankan hidup dan memperoleh derajad kehidupan yang lebih baik. Di ruang tersebut saya ditemani oelh istriku, Ibu Mertua, Bu Yati, Mbak Erni, Mas Herman, Mas Agus, semua merasakan ketegangan yang luar biasa, menantikan suatu kejadian yang sebelumnya tidak pernah dirasakan. Raut wajah mereka Nampak tegang, terasa ada bom yang mau meledak, namun mereka berupaya untuk menahan dengan harapan agar aku dapat tegar didalam menghadapi perjuangan hidup dan mati. Kedua putri kembarku Shofi dan Syifa selalu nampak gembira, melihat ayahnya yang akan berjuang antara hidup dan mati, berjalan kesana-kemari, sambil bernyanyi “ disini senang, disana senang dimana mana hatiku senang”. Wajar saja karena anakku masih fitrah, jadi senang dan tidak tergantung pada situasinya. Bisa jadi orang yang mendengarnya juga akan berkata, “dasar anak kecil orang tuanya sedang susah kok malah bersuka ria” . Tetapi bila melihat kondisi anak kecil yang sudah menjadi hal yang wajar, perasaan belum peka sehingga bisa merasakan pada pada perasaan orang lain.
Sambil menunggu panggilan untuk operasi saya sempatkan ke belakang untuk berwudhu dan melaksanakan shalat dhuha, tidak pernah aku sampai menangis dan meneteskan air mata sebanyak itu. Aku berdo’a memohon kepada Allah agar para dokter yang menangani operasiku dapat berjalan dengan lancar, demikian pula aku meminta agar aku diberi kekuatan dan kesabaran. Selesai shalat dhuha belum juga ada panggilan dokter. Saya tanya pada dokter jaga mengapa setelah minum obat urus-urus kok beraknya biasa-biasa saja, tidak seperti yang saya bayangkan akan keluar banyak cairan dan tubuh menjadi lemas. Bahkan obat yang di masukkan ke dalam anus baru bereaksi pada jam 8.30, saya ke belakang namun yang keluar hanya obat yang telah mencair dan keluar kembali, lalu saya mengambil air wudhu.
Pada jam 09.00 saya dipanggil lalu masuk ke ruang operasi, dengan kursi roda didorong oleh perawat, sampai di ruang persiapan di bantu oleh Mas Herman yang kemudian di suruh keluar. Pada jam 09.30 saya sudah berada didalam ruang operasi, dada saya dibersihkan dengan alkohol dan betadin, pada tangan saya dipasang inpus, lalu saya disuruh duduk, dibelakang saya ada lima orang, yang satu orang sudah mempersiapkan jarum suntik yang kemudian menyuntik pada leher belakang. Saya ditanya apa pusing tidak, namun seperti ada yang aneh, selang sesaat saya pusing dan saya tidak ingat lagi, baru kemudian pada jam 08.00 WIB saya sadar, masih terlihat samar-samar saya mendengar suara, oh sudah sadar, perlahan saya membuka mata dan melihat disamping ada istri, Mas Herman, Mas Mun dan yang lainnya.
Sungguh saya berada dalam kesadaran, walaupun hidupku masih amat tergantung pada peralatan, buat makan-minum bahkan untuk bernafas masih dibantu dengan oxygen. Begitu juga segala kebutuhan, untuk melakukan segala aktifitas sangat bergantung pada bantuan orang lain. Inilah manusia diciptakan dari tidak berdaya, menjadi berdaya bahkan berkuasa, namun datang lagi masa ketidakberdayaan. Semua orang pasti akan merasakan, karena apa? Tentu saja bila bukan karena sakit, tentu karena waktu usia yang menjadikan tua renta dan tidak berdaya. Tentang kapan kedatangannya. Inilah rahasia Allah.