3/13/2013

Ibadah dalam Perspektif Agama Islam

Islam adalah agama paripurna, didalam syari'atnya ada yang melanjutkan, menghapuskan, mengganti, menjelaskan dan menyempurnakan syari'at agama sebelumnya. Semua bentuk aktifitas perbuatan manusia mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali adalah merupakan ibadah, bila dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syari'at. Oleh karena itu dengan keluasan ibadah hendaknya dapat dipahami adanya ibadah yang pokok dan ibadah yang sunah, sehingga ketika melaksanakan ibadah sunah, hati telah menyatu dalam kondisi khudhu', mengagungkan dan kecintaan terhadap Allah. Karena kondisi tersebut semakin menambah keyakinan terhadap Allah dan senantiasa tidak melalaikan ibadah wajib.
Didalam memaknai ibadah antara Ibnu Taimiyyah dan Yusuf Qardawi mempunyai persamaan yaitu:
العبادة اسم لكل ما يحبه الله ويرضاه من الاقوال والاعمال الظاهر والباطن
" Ibadah adalah suatu bentuk kegiatan yang mencakup segala yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik perkataan maupun perbuatan, lahir maupun batin". ( Sa'ad Abdul Wahab, Tafsir Al Hidayah:88).
Sehingga ibadah itu merupakan ukuran dan wujud kecintaan manusia kepada Allah SWT. " Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik". (QS. Attaubah: 24)
Ibadah ada dua macam yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu maghdhah. Ibadah mahdhah (murni) adalah segala macam bentuk ibadah yang sudah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar dan waktunya, seperti menjalankan shalat lima waktu, melaksanakan puasa Ramadhan, membayar zakat dan melaksanakan haji. Sebaliknya ibadah ghairu mahdhah (tidak murni) adalah segala aktifitas lahir dan batin manusia yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga ibadah bukan sekedar bentuk ketundukan dan ketaatan, tetapi ia adalah bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa dalam mengabdi. Dan ia merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakekatnya. (M Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah: 356).
Segala macam bentuk ibadah harus mempunyai dasar dan landasan yang qath'i yaitu dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.
عن عائشة رضى الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من احدث فى امرنا هذا ما ليس منه فهو رد (متفق عليه)
" Dari 'Aisyah RA berkata, bersabda Rasulullah SAW, barang siapa mengada-ada dalam urusan kami ini, maka ditolak" (HR. Bukhari Muslim)
من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد (رواه مسلم)
" Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak berdasarkan urusan kami (Alquran dan atau Hadits) maka ditolak" (HR. Muslim).
Dalam hadits yang lain Rasulullah memberikan pelajaran kepada Muadz bin Jabal tentang tata cara memutuskan perkara: Muadz menjawab dengan Alquran, bila tidak ditemukan dalam Alquran maka dengan hadits, bila dalam keduanya tidak ditemukan maka dengan ro'yu".
Dengan demikian didalam melaksanakan ibadah disamping dengan dalil yang naqli juga dengan dalil aqli. Islam sangat menjunjung tinggi keberadaan akal, sehingga didalam memutuskan suatu perkarapun boleh menggunakan akal yang disebut dengan ijtihad. Ijtihat merupakan upaya yang sungguh-sungguh didalam mengerahkan segala kemampuan untuk mencari jalan keluar atas segala permasalahan baru yang belum ditemukan dasar hukumnya baik didalam Alquran maupun didalam sunnah Rasulullah SAW, dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Sehingga ijtihad hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan ilmu lebih dari orang lain, sebagaimana imam Hambali, Maliki, Syafi'i, Hanafi. Hasil dari ijtihad mempunyai kebaikan yang tinggi, bila benar mendapatkan dua pahala dan bila salah maka mendapatkan satu pahala. Demikian pula bagi orang yang mengikuti salah satu hasil ijtihad.
Segala macam bentuk ibadah semata-mata ditujukan untuk mencari ridha Allah SWT, dengan dasar Aqidah dan pokok-pokok ajaran Islam.
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".(Al An'am: 162-163)
Aqidah yang lurus dan benar akan menjamin bahwa pelaksanaan ibadahnya dilaksanakan secara optimal. Lebih mengutamakan kewajiban pokok dari pada melaksanakan ibadah yang sunah. Rasulullah memerintahkan kepada umatnya untuk menjalankan shalat tahajud, mengunakan sebagian kecil dari malam untuk berdzikir dan bertafakur, memohon dan mengharap ampunan-Nya. Karena disebagian dari malam itu Allah menurunkan rahmat-Nya, dan Allah akan mengabulkan do'a kepada hamba-Nya yang mau berdo'a. Sehingga keutamaan dari sepertiga malam, separuh malam dan dua pertiga malam senantiasa dilakukan semata-mata untuk meraih ridha Allah.
Didalam mengejar ibadah sunnah itu, hendaknya dapat selalu melatih kepekaan nurani, mengasah hati sehingga ketika baru saja terlelap dari tidur, ketika datang panggilan adzan subuh senantiasa membangkitkan diri untuk segera melaksanakan shalat subuh, sebagaimana Rasulullah SAW setiap menunggu waktu panggilan shalat seperti orang yang sedang kehausan dipadang pasir.

Ibadah bukan hanya shalat
Shalat adalah merupakan ibadah yang pokok, karena shalat adalah merupakan salah satu dari rukun Islam, dan pelaksanaan shalat adalah dalam rangka menyembah secara langsung kepada Allah. Karena itu ibadah shalat, ketika manusia masih hidup di alam dunia ini akan menjadi barometer tentang derajad kemanusiaanya, baik-buruk akhlaq manusia ditentukan oleh shalatnya. Maka ketika didunia ini shalat adalah menjadi penentu di akheratpun amal yang pertama kali akan ditanyakan oleh Allah adalah amal shalatnya.
Shalat adalah ibadah mahdhah, karena telah ditentukan waktunya, dimana waktu shalat subuh dilakukan pada waktu subuh, shalat dzuhur, asar, maghrib dan isa' juga dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal imsyakiyah. Kebolehan untuk mengurangi jumlah rekaat, dan pelaksanaannya tidak pada waktunya bila dalam kondisi darurat sehingga Allah memberikan rukhsoh. Ibadah tidak hanya shalat, akan tetapi shalat adalah merupakan bagian dari ibadah, bahkan shalat akan menentukan nilai ibadah yang lain.
Bila kita sering mengikuti atau mendengarkan diskusi agama, ceramah dan dialog atau pengajian interaktif baik di radio atau di TV sering diantara para pemerhati menanyakan, " mengapa ada orang yang rajin mengerjakan shalat tetapi perbuatan keji, fakhsa' dan munkar senantiasa dilaksanakan"? Maka ketika mendengar pertanyaan ini diantara kita akan berusaha memberikan jawaban, sesuai dengan pengamalaman dan pengetahuan agama masing-masing. Tak jarang bila jawaban kadang mengarah pada seseorang, kalau demikian, mengapa orang lain yang menjadi sasaran bukan dirinya sendiri, keluarga sendiri, bukankah Allah telah memerintahkan " Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…." (QS. Attahrim: 6). Maka sebaik-baik itu adalah mengoreksi terhadap diri sendiri, sejauh mana ketaatan terhadap Allah, sejauh mana ibadah shalat yang senantiasa dijalankan telah membentuk watak dan kepribadiaannya sehingga menjadi pribadi shaleh yang senantiasa dapat menjaga diri dari perbuatan fakhsa' dan munkar
Pribadi shaleh dan shalehah yang dikehendaki adalah yang dapat memotivasi diri dalam kesalehan sosial dan kesalehan spiritual, sehingga antara dunia dan akherat senantiasa akan terjadi keseimbangan. Sehingga ketika sedang berada ditempat shalat senantiasa merasa dekat dengan Allah, segala gerak geriknya selalu dalam pengawasan Allah, perbuatannya sedang tertuju kepada Allah, tidak mau mencampuri urusan shalat dengan urusan yang lain. Seandainya segala perilaku yang demikian ini dapat dilestarikan untuk selanjutnya diterapkan pada kondisi diluar shalat, niscaya perbuatan keji, fakhsa' dan munkar tidak akan sampai terlaksana, karena takut dirinya merasa dalam pengawasan Allah SWT." Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya". (Al Isra': 36)

Ibadah Islamiyah
Pelaksanaan ibadah didalam agama Islam sangat luas sekali, dan mempunyai cirri-ciri:
1. Tidak memberatakan kepada umatnya, bahwa pelaksanaan ibadah adalah berdasar pada taraf kesanggupan, lihat ibadah mahdhah, bahwa Allah mewajibkan untuk melaksanakan karena Allah maha tahu tentang kesanggupan hambanya. Akan tetapi bila didalam pelaksanaannya terdapat masyaqot, kemudian Allah membebaskan dari kewajiban tersebut dengan memberikan rukhsoh. Sehingga bila syarat pelaksanaan ibadah pokok tidak dapat dijalankan maka Allah memberikan alternative kemudahan. Misalnya syarat mendirikan shalat adalah berdiri, namun berdiri bukan harga mati, karena Allah memberikan rukhsoh untuk duduk bila tidak mampu dengan berdiri, atau berbaring bahkan bila tidak mampu dengan isyarat.
2. Fungsi ibadah adalah untuk menuntun hati sebagai penggerak dari segala aktifitas manusia agar sesuai dengan kehendak Allah, karena dalam setiap ibadah pasti ada godaan yang mengakibatkan ibadah kurang khudhu', kurang khusu', kurang ikhlas dan kekurangan lainnya sehingga kualitas pelaksanaan ibadah bersifat statis. Untuk mencapai taraf kesempurnaan ibadah Allah memberikan alternative ibadah tambahan dalam wujud ibadah sunnah. Misalnya untuk mewujudkan kondisi shalat yang khusu', khudhu', ikhlas, istiqomah maka seyogyanya untuk memperbanyak shalat sunnah rawatib dan shalat sunnat yang lain. Rasulullah sebagai uswatun hasanah selalu meluangkan waktu malam untuk menjalankan shalat tahajud. Kebiasaan melakukan amalan sunnah akan menuntun perilaku yang ikhlas, khusu' dan khudzu'.
3. Ibadah akan menjadi kebutuhan hidup manusia, seorang filosop Yunani Plutarque dalam lawatannya ke penjuru dunia sering menemukan kota-kota tanpa pagar, tampa kekayaan, tanpa gedung pertunjukan namun tak pernah ditemukan bahwa suatu kota tanpa tempat ibadah (Sa'ad Abdul Wahab, Tafsir Hidayah: 99). Bahkan sebelum datang petunjuk dari para rasul umat manusia banyak yang mempunyai faham animisme, dinamisme, deisme, polyteisme dan kepercayaan lainnya. Semua ini untuk mengungkapkan bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah sehingga membutuhkan perlindungan dari suatu dzat yang dipandang lebih tinggi.
4. Ibadah zakat yang lebih berorientasi sosial diwajibkan bagi orang-orang yang mempunyai harta lebih dari satu nishab. Bila kekayaan masih berlebih maka ada kewajiban infaq dan shadaqah. Bila para fuqara' dan masakin ingin memperoleh keutamaan sebagaimana para aghniya' maka bertuturkatalah yang baik, "Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima)". (QS. Al Baqarah: 263)

Demikian bahwa ruang lingkup ibadah adalah sangat luas, maka beribadahlah selaras dengan tujuan penciptaan manusia " Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". (Adz-Dzariyat: 57). Satukan fakir dan dzikir sehingga akan menuai rasa, bahwa dirinya selalu dekat dengan Allah.