3/06/2013

Penderita Jantung di Ruang ICCU


Asataghfirullah, Alhamdulillah… saya bisa melihat dan mendengar kembali, selang bantuan makan, minum dan oxygen mulai dilepas dari mulutku. Oleh perawat yang dipandang sudah tidak sesak lagi jadi cukup dengan bantuan oxygen, namun selang yang masuk dalam hidungku belum dilepas juga, karena selang tersebut untuk membantu memberikan asupan makan dan minum yang tentu saja dengan kandungan gizi dan kalori yang tinggi. Namun rasa haus terasa tak tertahankan, terlintas dalam fikiran seandainya minum es buah tentu sangat segar, maka saya minta minum pada perawat dan diberi segelas air putih, karena belum juga hilang rasa haus minta tambah lagi. Setelah minum baru saya ingat, bahwa katanya orang yang operasi tidak boleh makan dan minum sebelum kentut. Pada awalnya muncul rasa khawatir, namun setelah bertanya pada perawat, ternyata tidak masalah. Dan saya percaya bahwa seluruh tenaga medis dan perawat tentu lebih tahu, dan tentu tahu dan paham apa yang harus dilakukan.
Melihat kondisi yang semakin membaik kemudian selang yang masuk dalam hidungku dilepas. Dokter bedah yaitu dokter Supomo memeriksaku dan nampak optimis dengan mengacungkan jempol. Dan beliau yang memberi rujukan untuk di pindah ke ruang ICCU. Ketika perawat mengantarku untuk dirawat diruang ICCU, salah seorang berupaya untuk menghiburku. Saya menyadari bahwa pada saat itu muka saya sangat kusut, susah untuk tersenyum. Karena disamping risih juga susah untuk bergerak. Ketika berada didalam lift saya juga amat segan untuk dapat melihat wajahku. Rasa ingin tahu namun tertutup oleh rasa malu, dari lantai empat turun ke lantai 1 dan sampai diruang ICCU, dari bet satu ke bet yang lain harus diangkat oleh para perawat. Di ruang ini, sampai dua hari makan minum harus disuapi, tubuh belum bisa saya gerakkan. Saya berusaha untuk menggerakkan, untuk memastikan bila semuanya masih normal.
Pada hari yang ketiga di ruang ICCU, pada sore hari saya dibawakan buah jeruk, yang amat menggiurkan, warna hijau kemerahan dengan kandungan air yang banyak. Pada waktu sore dan menjelang malang bisa tidur, namun kemudian karena rasa haus yang tak tertahankan sehingga kemudian saya berusaha meraih buah jeruk, saya kupas lalu saya makan, memang benar adanya rasa haus berkurang. Namun selang beberapa saat setelah selesai makan buah jeruk kemudian batuk-batuk.
Batuk dan bersin itu sebenarnya kondisi yang paling aku takutkan, karena orang normalpun bila batuk kadang perutnya menjadi sakit. Dan sebelum operasi saya juga sering batuk-batuk bahkan merasakan sampai akan muntah. Dan itulah yang terjadi pada malam yang ketika berada di ruang ICCU saya batuk secara terus menerus dengan mengeluarkan dahak. Dada yang barus saja belah dan jantung baru saja dibedah belum pulih, namun kemudian terjadi kontraksi. Tulang rusuk, urat-urat yang baru saja disatukan ketika batuk terasa ada benturan yang amat keras, terdengar suara klethuk-kletuk dengan sakit yang memang sudah saya bayangkan sebelumnya. Pada waktu itu saya ingat nasehat dokter psikoterapi bahwa bila terjadi batuk maka jangan ditahan, hendaknya diloskan saja agar dahak dan kotoran yang beraga di kerongkongan bisa keluar. Saya memang selalu berupaya, namun yang terjadi jangankan untuk mengeloskan batuk, berusaha sedikit dehem saja sudah terasa amat sakit. Batuk yang ngikil terus saya rasakan, sesekali saya harus menikmati dengan sakit itu, dahak juga keluar namun saya tidak bisa memuntahkan sehingga saya lap pakai kapas dan saya masukkan dalam cangkir tempat dahak. Tekanan batuk semakin menjadi-jadi dan mengeluarkan dahak begitu banyak saya kira sudah cukup. Sekalipun oleh perawat jaga sudah diberi obat batuk, namun batuk terus menjadi-jadi, nyaris sepanjang malam tidak bisa tidur, karena batuk dan harus menahan rasa sakit.
Selama empat hari saya harus berbaring di tempat tidur, punggung terasa kaku dan cekat-cekot, sebenarnya bila dapat miring sedikit saja sudah terasa lega, plong peredaran darah terasa lebih lancaar. Sesekali pada waktu jam besuk istri, saya suruh untuk mengelus-elus punggung saya dan memang terasa enak, maklum saja sebelum operasi saya sudah terbiasa dengan pijet. Sehingga waktu sakit yang demikian juga merasakan sungguh enaknya bila di pijat urut.
Pada hari yang kelima dengan bet yang ditinggikan di bagian kepala saya belajar untuk duduk, tetapi kepala terasa amat pusing, duduk berbaring kanan kiri terasa salah karena terasa sakit dan tidak mengenakkan. Namun pelan-pelan bisa makan sendiri tanpa disuapi, pada hari yang keenam saya belajar untuk duduk dan berdiri, sungguh terkejutnya saya ketika akan berdiri otot paha terasa mau kram, sehingga saya segera meraih bet untuk pegangan. Saya selalu berupaya dari hari-kehari agar selalu ada peningkatan sehingga saya berusaha untuk menggerakkan tangan, kaki, leher, melenturkan otot-otot agar mempunyai kekuatan kembali. Alhamdulillah pelan-pelan otot-otot kaki dan tangan mulai kuat sehingga untuk mampu berdiri dan berjalan. Pada hari kamis saya duduk, ke WC sendiri tanpa kursi roda. Para perawat, dokter selalu memberi motivasi namun juga agar selalu berhati-hati.
Pada hari Jum’at saya dipindahkan ke ruang IMCC sampai hari Sabtu, namun karena suhu badan yang tinggi yang dipindahkan kembali ke ruang ICCU. Sebenarnya di ruang IMCC terasa lebih nyaman karena bisa berjalan dengan leluasa, ke WC, shalat lebih tenang karena tidak mendengar rintihan orang-orang, karena di ruangan ini merupakan ruang untuk persiapan, baik untuk tindakan atau persiapan pulang. Waktu saya kembali ke ruang ICCU pasien dari Padang yang juga dioperasi torak sudah meninggal. Di ICCU saya kembali menempati bed 3.
Pada pukul 18.00 ketika saya sedang menjalankan shalat maghrib, datang seorang pasien yang terserang penyakit jantung koroner, dia bertempat di bed 4 persis di samping saya. Dia datang dengan diantar oleh isterinya. Dia muntah-muntah sambil berkata bahwa nafasnya sesak, ketika ditolong oleh dokter beserta perawat langsung dipasang alat bantu pernafasan, yaitu oxygen agar nafasnya lebih lega. Benar adanya nafasnya lebih longgar sehingga bisa bercakap-cakap dengan dokter, bahwa dirinya baru saja pulang kerja, sesampai di rumah nafasnya sesak dan muntah-muntah. Dia nampaknya bisa istirahat, namun pada jam 03.30 penyakitnya kembali kambuh, nafasnya sesak dan kembali muntah-muntah, dengan mengeluarkan cairan berwarna biru seperti blawu. Sehingga suasana yang tenang kembali menjadi gaduh sehingga sayapun menjadi terbangun, lalu saya ke belakang dan mengambil air wudhu lalu melaksanakan shalat, saya sempat membuka kordennya dan melihat memang benar dia amat kesakitan, dokter dan perawat yang berusaha dengan maksimal, pasien mengaduh nafasnya sesak “aduh angel nggo nafas” diulangi bebarapa kali. Dokter dan perawat berusaha untuk memberikan pertolongan namun Allah berkehendak lain, bahwa pada jam 04.00 di meninggal dunia.
Kegaduhan-kegaduhan seperti ini yang sering membuat pasien yang lain tidak bisa istirahan termasuk saya, dan ini tentunya juga bisa dimaklumi. Pada waktu itu saya kurang tidur, mau minta minum dibatasi karena tidak boleh banyak-banyak, sehingga untuk menghilangkan rasa haus saya makan buah apel dan jeruk yang di bawakan oleh kakak. Pada pagi hari jam 7.30 ketika pergantian siff dokter dan perawat jaga, breafing, masing-masning melaporkan kerja dan melimpahkan pekerjaan, perawat menyampaikan catatan tentang saya bahwa saya sudah boleh pulang. Namun apa yang terjadi, dokter (dr. Nahar) tidak mengizinkan karena kondisi suhu tubuh naik, maka berdasar pertimbangan medis kepulangan ditunda.
Saya menyadari mungkin pengalaman pribadi dengan pengalaman medis berbeda. Hal ini sering saya rasakan bahwa sebelum saya operasi sering merasakan panas yang demikian, suhu tubuh yang naik, yang disebut panas dalam, setelah itu kemudian muncul luka-luka pada mulut atau lidah dan terjadilah sakit sariawan. Saya pikir itu adalah hal yang biasa, saya berargumen berdasar pengalaman, karena saya ingin segera pulang. Dengan motivasi ingin menghibur orang tua yang sedang sakit. Ya apa boleh di kata di rumah sakit harus mengikuti nasehat dokter, karena dialah yang lebih berpengalaman dalam menangani pasien.
Panas dalam yang saya pandang sebagai hal yang biasa, ternyata oleh dokter dipandang sebagai suatu yang serius. Dokter dan para perawat mengatakan: “Sayang usaha yang maksimal telah dilakukan dan bisa dikatakan telah sukses namun menjadi gagal karena kecerobohan pasien dan keteledoran dokter”. Dengan menahan kekecewaan saya menerima alasan dokter, karena hasrat ingin pulang saya ini sebenarnya hanya ingin melegakan orang tua, ayah dan ibu yang memang sejak saya berangkat operasi belum pernah melihat. Hal ini karena ayah yang sedang sakit, dan ibu yang tidak kuat dikendaraan dan juga harus menjaga ayah, sehingga harapan saya setelah ayah melihat saya dalam kondisi yang baik akan menjadi lega.
Belum lagi dokter Nahar memeriksa, beliau telah memprediksi bahwa kondisi saya tidak baik, sehingga kepulangan untuk ditunda. Saya minta agar dipindahkan ke ruang IMCC, dengan pertimbangan agar bisa beristirahat. Ketika memeriksa dr. Supomo (dokter bedah) menyarankan agar banyak minum air putih agar suhu badan menurun, karena semakin banyak minum air putih akan sering kencing dan suhu badan menurun. Akhirnya saya di belikan aqua. 1,5 liter dan saya minum terus.
Pada hari Selasa dokter mengizinkan saya untuk pulang dengan memberikan catatan, hari Senin agar kontrol, selama berada di rumah agar jangan banyak bicara, dan kurangi kontak langsung dengan sesama manusia, dan gunakan waktu untuk beribadah. Lakukan gerak badan, tangan, kaki dan leher hal ini untuk mempercepat pemulihan kesehatan.
Ketika sudah sampai di rumah, sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, bila mendengar tetangga atau saudaranya sakit maka akan berbondong-bondong ditengok, biasanya orang yang sakit juga akan memberikan apresiasi menanggapi setiap pertanyaan. Namun saya sudah distel oleh dokter untuk tidak banyak bicara dan melakukan aktifitas. Sehingga bila ada teman , saudara, tetangga yang menengok istri atau keluarga yang menjadi juru bicara.