3/24/2013

Bersimpuh di tengah malam, apa yang dicari?


Dalam sebuah perusahan swasta yang bergerak dibidang marketing standar keberhasilan ditentukan oleh omset penjualan yang meningkat, setiap karyawan selalu diberi motivasi untuk lebih meningkatkan kinerja. Insentif, bonus, jabatan akan semakin memotivasi mereka. Bila ini tercapai maka perusahaan semakin berkembang dan kesejahteraan karyawan semakin meningkat pula. Pada waktu menjelang diadakan rapat bulanan, walaupun rapat belum dimulai tetapi sudah banyak yang berkumpul, seorang karyawati bercerita bahwa tadi malam telah menjalankan shalat tahajud, yang mana dalam shalat itu dia memohon kepada Allah agar diberi kemudahan untuk mendapatkan pelanggan baru sehingga target pada bulan itu bisa tertutupi. Harapannya dipertaruhkan karena dia yakin bahwa Allah mendengar do’a dan mengabulkan permintaannya. Rapat dimulai pada jam 10.00 dan selesai pada jam 12.00 WIB yang kemudian ditutup dengan makan siang bersama-sama, pada saat itu dia diajak temannya untuk menjalankan shalat dhuhur, alangkah terkejutnya ketika dia menjawab, nggak ah, ditanya lagi mengapa, dia menjawab malu. Mengapa malu dan malu pada siapa, dia menjawab ada teman yang lain yang tidak menjalankan shalat, nanti dibilang sok alim.

Ini adalah sebuah kisah nyata, dan sering pula terjadi pada kelurga, ketika anak-anaknya sedang menghadapi ujian atau sedang mengikuti seleksi penerimaan pegawai, atau ketika sedang menghadapi cobaan hidup atau karena terjerat pada lilitan hutang. Maka setiap malam yang tidak seperti malam-malam sebelumnya, dia berniat untuk bangun malam dan kemudian menjalankan shalat tahajut, meninggalkan sebagian dari kenikmatan malam untuk menghadap kepada-Nya. Mengadukan dan menceritakan kesulitan hidup dan memohon untuk memperoleh keberhasilan dalam setiap tujuannya secara maksimal.

Begitu asyik dan nikmatnya, kurang puas dengan menjalankan shalat dua rekaat, dia menambah delapan rekaat lagi dan kemudian ditutup dengan menjalankan shalat witir tiga rekaat. Waktu untuk munajat masih terasa sempit maka ditambah lagi dengan zikir dan membaca Alquran. Berat tapi terasa ringan karena merasa ada tuntutan kebutuhan yang lebih besar. Berat karena tidak seperti biasanya bangun malam dan menjalankan shalat, maka bilangan rekaat dan lamanya zikir terasa ringan karena adanya motivasi untuk memperoleh harapan kesuksesannya. Selesai berzikir kemudian tidur, rasa kantuk yang tak tertahan lagi sehingga bangun kesiangan dan nyaris shalat subuh pada waktunya shalat dhuha alias kesiangan.

Pemenuhan kewajiban untuk mendapatkan pensucian diri, melatih dan mengolah hati (menejemen qalbu), menghilangkan hijab agar terjalin komunikasi dengan sang Kaliq. Menyebabkan pada masalah yang lain yang tidak dikehendaki, berangkat kerja telat, di kantor mengantuk, bekerja atau belajar tidak konsentrasi sehingga bisa menelantarkan tugas dan kewajiban yang diamanatkan kepadanya. Dan harapan memperoleh kenikmatan yang menyejukkan mata, tutur kata yang berbobot dan berkualitas (qaulan tsaqilan), memperoleh tempat yang terpuji di dunia dan akherat (maqaman mahmuda), terhapusnya dosa, kejelekan dan dihindarkan dari penyakit dirasa jauh dari harapan.

Shalat tahajud sebagaimana diriwayatkan oleh Al Bazzar dan Ath Thabrani (ulama hadits) bahwa ketika Rasululah menghadapi para pembesar Qurais yang mengolok-olok sebagai dukun, orang gila, tukang sihir dan mengancam akan membunuh. Rasulullah kemudian , bersedih, termenung sambil berselimut. Kemudian Rasulullah disuruh untuk bangkit, hilangkan kemasygulan dan segera bersiap untuk mengahadapi tantangan, dengan mempersiapkan jiwa untuk menjalankan shalat tahajud. Ibnu Mas'ud salah seorang sahabat rasul yang dikenal kesalehannya, pernah ditanya tentang obat bagi jiwa yang sedang gelisah, hidup tidak tentram, pikiran kusut dan tidur gelisah. Maka beliau memberi nasehat agar mengunjungi tiga tempat. Pertama ketempat orang yang sedang membaca Alquran, membacanya atau mendengarkan bacaannya, kedua mendatangi majlis ilmu yang mengingatkan hati kepada Allah dan ketiga dengan mencari waktu dan tempat yang sepi misalnya dimalam hari dikala orang-orang sedang tidur nyenyak.

Melaksanakanlah ibadah menurut kesanggupan, jangan memaksakan diri karena itu kondisikan diri dengan cara yang baik, karena bila sudah terbiasa bangun ditengah malam rasa berat dan kantuk tidak akan ada lagi. Harapan untuk maraih tujuan adalah bisa mengalahkan segala bentuk ketidakwajaran menjadi hal yang biasa, hal yang tidak mungkin menjadi nyata. Kebanyakan tujuan diarahkan pada tujuan yang sempit dalam perspektif duniawi. Sebagaimana dikatan oleh Ustadz Wafiudin anggota tim bai’at Abah Anom di Suryalaya Jawa Barat, bahwa ibadah yang dilaksanakan dengan cara yang demikian adalah merupakan white magic, melakukan aktifitas ibadah, shalat, berdo’a atau dzikir tetapi mempunyai tujuan untuk mendapatkan lulusan atas usaha yang ditempuh, maka bila itu tercapai yang diperoleh hanya didunia saja dan diakherat tidak mendapat apa-apa.

Melakukan tahajud demi mendapatkan rizki yang banyak, memberikan shadaqah demi menyelamatkan diri dari bencana, atau membayar zakat demi memperbesar kekayaan, yaitu harapan memperoleh balasan dari Allah, meskipun ibadah tersebut dari segi fiqih adalah syah akan tetapi dari sudut pandang ma’rifat, ibadah tersebut dipandang tidak ikhlas karena ibadah dilandasi dengan maksud duniawi dan memenuhi kehendak hawa nafsu (Dr. Moh Sholeh, Tahajud: 128). Ibadah yang dilakukan demikian itu seakan-akan memaksakan kehendak Allah. Maka kadangkala kesuksesan yang diperoleh akan mendatangan musibah atau marabahaya bagi dirinya, hal ini pernah terjadi pada diri Qarun yang hidup pada masa nabi Musa, Tsa’labah yang hidup pada masa nabi Muhammad dan masih banyak contoh yang lain. Mareka memandang bahwa kesuksesan yang diperolehnya adalah merupakan hasil dari usahanya, sehingga kemewahan dan kejayaan yang diperolehnya akan menjauhkan diri dari Allah bahkan mereka menjadi kufur nikmat.

Lain lagi bahwa setiap ibadah yang hanya diperuntukkan semata-mata mencari ridha Allah maka tujuan yang diharapkan adalah merupakan tujuan jangka panjang dan bila do’anya dikabulkan, hal ini adalah merupakan kemurahan Allah. Permohonan hamba pada Sang Khaliq ada yang langsung dikabulkan ada lagi yang ditangguhkan atau ada juga yang dialihkan dalam wujud keberkahan yang lebih besar. Maka apa yang diperolehnya akan dikembalikan untuk peningkatan ibadah. Ibadah dengan pendekatan hati yang diprakarsai oleh Ustadz Arifin Ilham dengan Majlis Dzikirnya, KH. Abdullah Gymnastiar dengan Menejeman Qalbu, Ary Ginanjar dengan ESQ (Emosional Spiritual Quotion) menjadi daya tarik yang unik, ditengah-tengah bangsa yang sedang dilanda krisis, nyaris batu karangpun tidak akan mampu meluluhkan hati, masing-masing bersikeras mempertahankan haluan dan pendapatnya. Alunan zikir yang membacakan Kalimatullah meluluhlantakkan kerasnya hati sehingga bersimpuh dalam linangan air mata. Demikian pula Asmaul Husna diterjemahkan dalam aktifitas hidup sehingga menjadi sensor motorik, menggerakkan hawa nafsu menuju pada insan yang dihiasi dengan sifat-sifat malakut.

Sesungguhnya tahajud menjadi media bermuhasabah (introspeksi) menilai dan mengukur kemampuan diri, media untuk menceritakan kesulitan-kesuitan yang sedang dihadapi dan meminta kepada-Nya untuk diberi jalan yang terang. Sehingga setiap kesulitan yang diceritakan, walaupun dalam tempo yang lama tidak ada perubahan tetap mempunyai sikap yang optimis, tidak surut dalam melaksanakan ibadah. Akan muncul pada dirinya motivasi bahwa harapannya yang tidak segera dikabulkan karena Allah mempunyai kehendak lain yang tidak diketahui hamba-Nya, bila cepat dikabulkan bisa jadi akan mendatangkan musibah pada dirinya atau menjadikan dirinya hilang kemuslimanya Allah menundanya atau memberikan dalam wujud yang lain. Shalat tahajud yang dilaksanakan secara istiqomah akan membentuk pribadi yang selalu optimis, tenang dan rasa keikhlasan yang mendalam.