1/20/2015

Menjaga dan Melestarikan Haji Mabrur, Dalam penegakan Syari'at Islam



Haji Mabrur adalah suatu predikat dan prestasi ibadah haji yang diidam-idamkan setiap muslim yang telah melaksanakan ibadah haji. Harapan dari haji yang mabrur adalah surga. Sudah tahukah surga yang diidam-idamkan bagi setiap muslim? Berdasarkan pengamatan panca indra tak seorangpun yang sudah mengetahui tentang surga. Surga kebalikannnya adalah neraka, surga menjadi tempat yang diharapkan bagi seluruh penganut agama dan neraka adalah suatu tempat yang tidak diharapkan. Tak seorangpun yang menginginkan menjadi penghuni neraka. Sekalipun orang belum pernah mengetahui surga dan neraka, namun agama telah mengajarkan tentang adanya surga dan neraka. Keduanya adalah merupakan ranah keyakinan yang tidak dapat dilogikakan. Walaupun demikian Allah memberikan akal kepada manusia untuk memahami tentang sesuatu yang bersifat gaib.

Orang yang melaksanakan ibadah haji berharap akan memperoleh balasan berupa surga, dan surga adalah suatu tempat yang diperuntukkan bagi orang yang mempunyai jiwa yang bersih. Karena itu setiap orang sebelum orang memasuki surga akan dibersihkan terlebih dahulu dosa-dosanya dalam siksaan api neraka. Sebelum habis dosanya maka tidak akan dimasukkan ke dalam surga, karena itu agar kelak tidak terlalu lama menjadi penghuni neraka maka diupayakan untuk selalu melaksanakan dan meningkatkan amal shalih.

Ada suatu lompatan peningkatan ibadah yaitu setelah menajalankan ibadah haji bila memperoleh predikat haji mabrur. Reflektifitas semangat spiritualitas religious akan mewarnai dalam setiap kehidupan. Selalu merindukan untuk menegakkan shalat dengan berjama’ah, gemar bersedekah, gemar menuntut ilmu dan mengajarkan, selalu berupaya untuk menjadi teladan, selalu bermuka manis kepada sesama, komunikatif dan kehadirannya selalu dirindukan bagi orang lain. Lompatan peningkatan kwalitas ibadah tidak selamanya berjalan dengan mulus dan lancar, karena akan selalu dihadapkan dengan kondisi kehidupan. Ada suka, ada duka, ada kesalihan ada kemaksiatan, ada suka ada benci, ada makruf ada munkar dan sebagainya. Dengan kondisi kehidupan manusia yang demikian ini maka memungkinkan kwalitas ibadah haji menjadi semakin surut.

Mempertahankan kesalihan menjadi pekerjaan yang berat dan harus selalu dipertahankan, karena “Al Imanu yazidu wayanqushu” iman kadang bertambah dan kadang berkurang. Ketika keimanan seorang hamba Allah sedang mengalami peningkatan bisa mengungguli kesalihan malaikat yang selalu taat kepada perintah Allah, namun ketika keimanannya sedang menurun atau hilang maka kualitas keimanannnya menjelma menjadi perilaku yang lebih rendah dari binatang ternak.

“ Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al A’rof: 44)

“ Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”. (QS. Al Furqon: 44)

Pernah suatu saat salah seorang teman pernah merasakan tentang kenikmatan ibadah di tanah suci, bagaimanakah dalam setiap hari ingin selalu memenuhi panggilan Allah. Setiap saat akan selalu mendatangi masjid, takut didahuli oleh orang lain. Apa yang dilakukan dalam setiap saat adalah ibadah. Setelah beberapa saat pulang ke tanah air dia masih merasakan kehidupan beragama seperti di tanah suci, tetapi keindahan kehidupan beragama yang demikian itu terasa semakin hari bukannya semakin meningkat tetapi justru merasakan adanya penurunan. Dia seoarang anak muda, usianya masih di bawah tiga puluh tahun. Mungkin diantara kita masih memaklumi, walaupun sesungguhnya Allah akan melebihkan bagi generasi muda yang taat beragama.

Bila orang tua taat beragama hal ini adalah hal yang wajar namun bila anak-anak muda senantiasa giat dan istiqomah didalam menjalankan perintah agama dialah pemuda yang luar biasa. Banyaknya godaan justru menyadarkan dirinya sedang diuji oleh Allah, semakin kuat iman dan semakin banyak ilmu, semakin tinggi pangkat dan jabatan, semakin banyak materi yang ditumpuk maka ujiannya akan semakin kuat. Satu masalah belum dapat diselesaikan sudah datang permasalahan yang lainnya. Bila adanya ujian dibiarkan, diberikan harta yang banyak dan melimpah bukannaya semakin dermawan namun semakin bakhil dan membiarkan kebakhilannya terus dikembangkan. Ketika mendengar seruan adzan tetap asik dengan aktifitas dan pekerjaaanya. Apalagi diwaktu pagi hari, udara yang dingin, rasa kantuk ingin tetap berleha-leha di tempat tidur. Mendatangi menjalis taklim semakin turun, apalagi mengajarkannya.

Bila kondisi ini dibiarkan secara tidak sadar sesungguhnya dirinya sedang membiarkan penguasaan hawa nafsu yang berusaha untuk menggerogoti keimananya. Sangat disayangkan bila keimanan yang dahulu telah tertancap didalam qalbu yang kemudian membuahkan amal shalih tidak diupayakan untuk ditancapkan lagi, dimanakah letak kesempurnaan manusia.

“ Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya”? (QS. Ath-Thin: 4-8)

Upaya mengembalikan keimanan.
Keimanan bukan merupakan khayalan atau cita-cita atau sebagai perhiasaan saja, namun keimanan itu sesuatu yang telah tertanam di dalam hati diucapkan dengan lisan dan di amalkan dengan amal perbuatan. Karena itu iman harus dengan amal shalih bahkan selalu berwasiat dalam perbuatan yang hak dan kesabaran. Mempertahankan, menjaga dan meningkatkan keimanan yang diantaranya untuk menjaga kemabruran haji hal yang harus selalu diupayakan:

1. Berupaya untuk memaksakan diri dalam menegakkan ajaran agama.
Tidak ada paksaan dalam beragama, orang tidak bisa memaksakan keyakinan kepada orang lain. Namun ketika dirinya telah beragama, berarti telah memperoleh hidayah (petunjuk). Maka agar beragama dapat mewujudkan keindahan, keharmonisan bahkan dapat mendatangkan rahmat bagi sekalian alam. Tidak ada keikhlasan, kesabaran dan istiqomah yang diperoleh dengan tiba-tiba. Semua ini harus dipupuk dan selalu diberdayakan. Bahkan ikhlas kadang harus dipaksakan, bagaimanakah orang akan merasakan indahnya shalat berjama’ah bila tidak membiasaakan diri meninggalkan segala aktifitas ketika mendengar seruan adzan dan segera menegakkan shalat. Bagaimanakah akan merasakan indahnya shalat lail, puasa sunnah bila tidak mau menjalankan. Sesungguhnya sesuatu yang berat akan menjadi ringan bila dilaksanakan secara terus menerus, keikhlasan akan tumbuh bila dilaksanakan secara terus menerus.

Seorang teman pernah bercerita bahawa dirinya dahulu selalu dapat bangun pagi, sebelum shalat subuh dia sudah bangun. Bahkan lebih hebatnya dia berkisah bahwa sekalipun pada malam hari dia tidur sampai larut malam, tetapi ketika didalam hati berikrar akan bangun pagi sebelum subuh, ternyata pada pagi hari seakan ada yang membangunkan. Hati yang bersih, ikhlas dan istiqomah, sabar membangunkan tubuh yang sedang berbaring dalam tidur yang nyenyak. Namun mengapa sekarang keadannya jauh berbeda, sudah beberapa bulan dirinya tidak mendengar panggilan shalat subuh. Malam hari berniat akan bangun pagi ternyata tidak bisa bangun pagi, sekalipun pada malam hari selelu tidur lebih awal dengan harapan dapat bangun lebih pagi, ternyata tidak bisa terlaksana. Walaupun dia seorang mubaligh, yang ditingkat kampung dia di sebut seorang ustadz, pada pergaulan dipanggil dengan sebutan haji, di tempat kerja ada beberapa teman yang memanggil dengan sebutan kyai. Gelar terhormat dalam bidang agama ini ternyata belum bisa mewarnai kepribadian seorang yang alim yang mempunyai jiwa integritas.

Sebenarnya dengan kondisi yang demikian dirinya merasa malu, mengapa bila disebut, ustadz, kyai, haji namun belum bisa menjadi teladan bagi orang lain? Ternyata dengan niat yang ikhlas, Allah memberikan petunjuk kepadanya, melalui perjalann hidup sebagai seorang ustadz. Ketika dirinya menyampaikan taushiyah keagamaan, ada salah seorang jama’ah yang minta diajari untuk belajar membaca Alquran. Niat ini sebenarnya telah disampaikan pada istrinya tentang keinginannya untuk mengajar iqro’ kepada jama’ah pada pagi hari, setelah shalat subuh, dia berharap agar bisa bangun pagi. Tetapi didaalm hatinya ada kekhawatiran kalau sudah merencanakan dan melaksanakan apakah dirinya bisa istiqomah. Kekhawatiran ini terjawab ketika justru ada jama’ah yang menginginkan. Maka dimulailah mengajar iqro’ pada pagi hari, yang tadinya dalam satu minggu sekali yaitu pada hari Ahad, kemudian berkembang dan dilaksanakan setiap pagi hari. Mengapa dapat dilaksanakan, ibadah kepada Allah dimulai dengan tuntutan kewajiban untuk melayani orang lain, rasa tanggung jawab terhadap manusia akan mendorong konsistensi dan aktifasi kegiatan.

2. Mengaca kepada orang yang lebih shalih.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi Rasulullah SAW pernah berkata bahwa Allah akan mencatat menjadi pribadi yang syukur dan sabar, bila didalam urusan agama senantiasa melihat kepada orang yang diatasnya, kebalikannya dalam urusan dunia melihat kepada orang yang dibawahnya. Setiap muslim dalam menegakkan dan menjalankan perintah agama mempunyai spesifikasi sendiri-sendiri, setelah menjalankan ibadah maghdhah, ibadah yang bersifat wajib dan fardhu ada yang lebih menekankan pada ibadah sosial misalnya infaq dan shadaqah, ada yang menekankan pada puasa sunnah, shalat sunnah, shalat berjama’ah, mencari ilmu, zikir dan amalan amalan Islam lainnya. Dengan demikian kesalihan akan terpancar pada pribadi masing-masing orang tersebut.

3. Mengajar adalah salah satu upaya untuk.
Mengajar adalah menjadi guru dan guru berarti digugu dan ditiru. Guru yang bijak adalah yang dapat menjadi teladan, dapat mencontohkan, memberi contoh dan dapat dicontoh. Sehingga seorang guru hendaknya mempunyai jiwa integritas dimana antara keyakinan, ucapan lisan dan keilmuannya membentuk suatu perilaku yang shalih. Maka dengan mengajar akan mengingatkan pada diri sendiri bahwa dalam setiap gerak-geriknya akan diawasi oleh orang lain, sehingga bila pada suatu saat mengajarkan untuk berbuat baik namun karena sedang khilaf sehingga terjerumus pada perilaku yang tidak baik, maka orang lain atau anak asuh atau para jamaahnya akan menjadi pengerem dalam perbuatan yang tidak baik.

4. Berupaya untuk mengamalkan ajaran agama dimulai dari dirinya bsendiri, dimulai dari hal-hal yang kecil dan dimulai dari sekarang.
Diri sendiri menjadi pangkal dan motivasi untuk mengajak pada orang lain, setiap hal yang besar dimulai dari hal-hal yang kecil, dan waktu sekarang adalah pangkal untuk mengawali setiap perbuatan. Ingatlah bahwa orang akan melihat apa yang telah dilakukan bukan apa yang dikatakan. Perilaku akan mempunyai peran yang besar dari pada perkataan. Karena banyak orang yang pandai berkata namun sedikit karya. Bahkan dalam setiap hal dalam menyelesaikan masalah yang penting bicara, bukannya bicara yang penting-penting saja.

5. Selalu bergaul dengan orang-orang yang shalih.
Bila berada ditanah suci selalu termotivasi untuk beribadah karena tujuan utama adalah untuk beribadah. Begitu pula perkumpulannya bersama-sama orang yang sedang merindukan untuk beribadah secara maksimal. Maka bila ditanah air dapat berkumpul dengan orang shalaih niscara akan terdorong untuk meningkatkan ibadah.

Begitulah bahwa penyandang haji mabrur akan menjadi kenyataan bila dapat mengimplementasikan ajaran Islam secara kaffah. Imannya iman yang sudah tertanam senantiasa dihiasi dengan amal ibadah.