12/26/2014

Uang Bisa Membuat Orang Bahagia tapi Bukan Karena Uang Menjadi Bahagia



Dari judul di atas bila dicermati dan dibaca berulang-ulang, sekilas sama. Namun sesungguhnya mengandung pengertian yang berbeda. Bila mengatakan “uang bisa membuat orang bahagia”, mungkin setiap orang tidak ada yang menyangkalnya. Karena bisa berangkat kerja ke kantor atau berangkat ke sekolah, baik menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum. Semuanya memerlukan syarat yaitu harus membayar dengan uang. Jadi uang menjadi sarana untuk memperoleh sesuatu yang bisa menjadikannya bahagia.

Tapi bukan karena uang menjadi bahagia, dari ini terkandung makna bahwa kebahagiaan itu dapat diraih bukan karena uang semata, karena bila demikian akan terjadi pendewaan terhadap uang, “karena uang menjadi bahagia”. Sekalipun uang bukan segala-galanya, namun uang senantiasa dicari. Berbagai macam upaya ditempuh, untuk mengangkat prestise dan status sosial yang lebih baik.

Ada orang yang memandang orang lain, karena mempunyai pekerjaan yang mapan, jabatan yang tinggi, penghasilan yang banyak, tentu mereka sangat bahagia. Orang memandang yang demikian ini karena memandang bahwa apapun yang diinginkan bisa dibeli dengan uang. Rumah megah, kendaraan mewah, perhiasan dan accessoris rumah yang serba wah apapun bisa diperoleh. Berhentikah dia pada titik klimak telah bahagia?

Pernah salah seorang teman saya mengatakan, bahwa ketika anak-anaknya suka dengan makan telor asin maka dibelikan telur asin itu sebanyak-banyaknya, sehingga anak-anaknya tidak mau makan. Bahkan untuk melihatpun terasa sudah bosan. Pernah anak-anaknya suka makan pitza, maka dibelikan pitza sebanyak-banyaknya sampai hilang keniktannya. Ketika anak-anaknya ingin makan dengan ayam goreng maka dibelikan ayam goreng sebanyak-banyaknya hingga bosan dan tidak mau makan lagi.

Mengapa anak-anaknya bosan dan mengapa dibelikan sebanyak-banyaknya.karena orang tuanya adalah orang yang berada, punya banyak uang dan sangat cinta kepada anak-anaknya. Suatu saat teman saya ada pekerjaan di luar kota, sehingga sudah menjadi kebiasaan ketika mau pulang harus menyiapkan oleh-oleh bagi keluarganya yang ada di rumah. Biasa yang dibeli adalah makan yang menurut dirinya enak dan harganya mahal. Setelah sampai di rumah oleh-oleh diberikan kepada anak-anak ternyata hanya dibuka kemudian ditinggal pergi. Tidak ada yang mau makan. Bahagiakah dia?

Akhirnya sampai pada keputusan, bila suatu saat pergi keluar kota tidak akan membeli oleh-oleh lagi, percuma karena tidak ada yang mau makan. Bahagiakah dia? Ternyata teman saya ada pekerjaan di luar kota lagi, cukup lama 10 hari pisah dengan keluarganya, anak dan istri yang tercinta dan orang tua yang dimuliakan, saudara-saudara dan tetangga yang senantiasa berkumpul bersosialisasi dan berinteraksi bersama. Pada waktu ada kesempatan teman saya diajak berjalan-jalan ke super market oleh teman-temannya. Dia melihat teman-temannya ada yang memilihkan pakaian untuk anak dan istrinya, makanan untuk oleh-oleh keluarganya. Dia ingin seperti teman-temannya. Namun di dalam hati bertanya, bila anak dan istrinya dibelikan pakaian takut tidak cocok, dibelikan makanan tidak dimakan. Bahagiakah dia?

Bila teman-temannya berbelanja dengan uangnya dia merasa bahagia dan ingin membahagiakan keluarga yang ditinggalkan. Namun bagi teman saya ternyata uang tidak membuatnya bahagia, karena dengan uang kadang teman saya itu disalahkan, istrinya sering bilang “kalau beli mbok ya jangan seperti ini, jangan yang warna ini”, belum lagi istrinya mengatakan mahal, boros tidak bisa menawar dan lain-lain. Bahagiakah dia dengan yang dimiliki?

Teman saya itupun ketika pulang, ditengah perjalanan menyaksikan para petani yang sedang duduk-duduk di pematang sawah, berteduh pada beberapa lembar daun pisang. Nampak dari kejauhan makan dan minum dengan lahapnya. Berapa gaji yang diperoleh pada hari itu tidak ada seperlima gaji teman saya. Namun mengapa teman saya itu makan direstoran tapi ternyata tidak senikmat petani yang makan di pematang sawah tadi. Bahagiakah dia?

Tiada rasa malu, takut, ragu memungut sampah ditengah kerumunan

Kadang orang memandang hina pekerjaan yang menurut dirinya hina, seperti menjadi pemulung, mencari rumput, menanam padi, mencangkul, pengasong, kuli bangunan, pekerja pabrik, tukang tambal ban, tukang tambal baju dan sebagainya yang menurutnya pekerjaan hina dan rendahan dengan gaji yang sedikit. Tentu tidak membuatnya bahagia. Benarkah demikian?

Ada seorang laki-laki yang setiap hari berjalan tertatih-tatih mengais rizki, dengan mengumpulkan sampah. Tidak peduli dia sedang berada ditengah-tengah orang yang sedang bergembira-ria, dia tidak malu, tidak takut, semuanya dilakukan dengan biasa. Bahagiakah dia? Bisa saja dia lebih bahagia dari pada orang yang seperti sedang bahagia. Sesungguhnya kadang orang tidak jujur terhadap dirinya sendiri, sedang susah pura-pura bahagia, sedang menangis pura-pura tertawa. Namun sesungguhnya kebahagiaan itu tidak bisa dimanipulasi, kebahagiaan ada di dalam hati.

Karena itu jangan menunggu mempunyai uang yang banyak baru bahagia, namun berhagialah maka akan memperoleh uang yang diinginkan. Jangan menunggu ikhlas untuk bersedekah namun bersedekahlah maka akan menjadi ikhlas. Jangan mengaharapkan memperoleh rizki yang melimpah ketika tidak mau bersedekah.

Selagi nyawa masih melekat pada jasadnya, tak ada orang yang mengharapkan mendapat petaka sehingga hidupnya menjadi susah, setiap orang ingin hidupnya bahagia. Maka untuk mewujudkannya diperlukan usaha dan perjuangan secara terus-menerus. Kebahagiaan harus diupayakan. Maka bila bahagia itu jika ukuranya telah mempunyai hp terbaru, maka harus mencari uang untuk mendapatkannya. Tetapi sampai berapa saatkah akan merasa bahagia, karena, ternyata seiring berjalannya waktu akan merasa bosan. Demikian pula bila kebahagiaan itu bisa diraih setelah mempunyai mobil mewah dan rumah megah. Ternyata suatu yang pada awalnya dikagumi kemudian menjadi hal yang biasa.

Itulah bila kebagaian itu ukurannya jika telah terpenuhi hajat hidupnya dalam wujud materi, maka semakin lama bukannya semakin cinta namun justru akan usang dan tidak menarik lagi. Lain halnya bila kebahgaiaan itu, karena ingin semakin dekat dengan sang Khaliq, maka disinilah puncakkebahagiaan ketika telah merasakan kehadiran Allah pada dirinya, sehingga kecintaannya akan selalu tumbuh dan berkembang.
Ketika orang lain pada siang hari makan dan minum dengan sepuasnya, namun justru dirinya berupaya untuk menahan diri sehingga berpuasa. Ketika mendengar penggilan azan segera mendatangi tempat shalat dan menegakkan shalat dengan berjamaah, padahal orang-orang tetap sibuk dengan urusannya masing-masing. Ketika pada malam hari orang-orang tidur dengan nyenyaknya, namun dia senantiasa bangun malam, meninggalkan tempat tidur dan segera mengambil air wudhu kemudian menegakkan shalat lail. Ketika melihat orang-orang bekerja menumpuk harta untuk keperluannya, namun dirinya senantiasa menyisihkan haknya bagi fuqara’ masakin.

Segala tuntunan Allah bila senantiasa dilaksanakan, maka akan mendatangkan kebahagiaan. Dan kebahagiaan ini bersifat subyektif tergantung pada pengalaman spiritualnya masing-masing. Dalam agama Islam semua bentuk ibadah mempunyai keutamaan/ fadhilah. Siapakah yang akan mendapatkan fadhilah kecuali mereka yang mau melaksanakan. Akan memperoleh keutaman shalat malam bila mau menjalankan shalat malam. Maka bagi muslim yang menghabiskan waktu malam untuk tidur maka tidak akan memperoleh fadhilah shalat malam.