11/06/2014

Cari Muka Tetap Bahagia




Bila mendengar ucapan cari muka, mungkin yang terbersit dalam benak adalah seorang penjilat, pecundang, pengecut dan gelar-gelar negative lainnya. Mengapa hal ini terjadi, hal ini karena pemahaman yang sudah membekas pada otak bawah sadar yang sulit untuk dihilangkan. Misalnya ada seorang karyawan ketika tidak ada atasannya, bekerja dengan seenaknya, namun ketika atasannya datang secara terburu-buru seakan-akan sedang sibuk dan berusaha untuk menyibukkan diri, walaupun kadang ketika ditanyakan oleh atasannya. “Apa yang kamu kerjakan”, tidak bisa menjawab, karena dia melakukan secara sepontan. Bisa jadi ketika menjawab “sedang menulis” namun yang dipegang adalah sikat gigi atau yang lainnya. Maka bila hal ini terjadi, ruangan yang tadinya sepi menjadi gaduh karena ulah seorang pecundang yang sedang cari muka. Apakah dia bahagia, bila berhasil melakukan aksinya tentu akan bahagia dan merasa puas.

Dalam hal ini bukan itu yang akan saya bahas, namun cari muka yang bermakna positif. Hal ini terjadi ketika suatu saat saya sedang mengikuti kegiatan ceremonial pemerintahan. Waktu itu saya duduk berdampingan dengan seorang pegawai di pemerintah daerah. Teman saya itu sambil duduk sesekali memperhatikan aksi tukang foto yang berupaya mengabadikan moment penting pada kegiatan tersebut. Ketika sudah tiba waktunya istirahat tukang foto itu mendekat dan disapa oleh temanku itu. “Kamu masih tetap cari muka ya”, belum dijawab temanku sudah menimpali dengan pertanyaan lain “Sudah berapa tahun kamu menekuti profesi ini”.

Dengan jawaban yang singkat dia menjawab “Beginilah mas, kira-kira sudah 15 tahun, yang penting bahagia mas”. Tukang foto segera bergegas untuk mengabadikan moment lainnya. Begitulah bahwa kunci sukses orang bekerja adalah karena bahagia dan untuk mendapatkan kebahagian. Pangkat dan jabatan yang tinggi tidak menjamin hidup menjadi bahagia, harta melimpah, rumah megah kendaraan mewah dan semuanya serba wah tidak menjamin bahagia. Karena bahagia berada didalam hati. Karena itu sering kita bertanya, apakah yang dicari dalam hidup ini? Tentu semuanya akan memberikan jawaban yang berbeda-beda, dan jawaban yang sebenarnya adalah yang disampaikan secara spontanitas, bukan direkayasa apalagi difikirkan. Karena kerja hati adalah merenung untuk menemukan jati diri sebagai makhluk Tuhan.

Bila menyimak pendapat tentang perbedaan antara sejahtera dan bahagia. Sebagaimana pendapat HSM. Nasarudin Latif dalam buku Nasehat Perkawinan edisi 35, sejahtera lebih berorientasi pada aspek lahiriyah, yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup berupa sandang, pangan dan papan. Bahkan disamping kebutuhan primer juga kebutuhan skunder maupun tertiernya. Namun dengan terpenuhinya itu tidak menjamin dirinya menjadi bahagia. Karena bahagia ukurannya adalah didalam hati. Karena itu orang yang tetap tekun dengan profesinya dengan pekerjaannya, walaupun kadang pekerjaan itu menurut orang lain tidak layak dan tidak pantas dilakukan, namun dia merasa bahagia. Karena itu banyak orang yang sukses meniti karir dalam pekerjaan karena bekerja dengan bahagia. Hati yang bahagia akan menjamin pekerjaan itu akan membuahkan hasil yang lebih baik.

Mengapa si Fulan seorang tukang cukur yang sudah bertahun-tahun tetap bertahan dengan pekerjaannya. Bahkan banyak sekali pelanggannya. Hal ini tidak lain karena dilakukan dengan bahagia, hatinya tenang, maka didalam melakukan aksi potong rambut nampak trampil dan hasilnya lebih rapi sehingga dia mempunyai pelanggan yang benar-benar mania kepadanya. Demikian pula seorang pegawai yang sudah bertahun-tahun duduk dalam posisi kehumasan yang diberi tugas oleh atasan yang menangani di bidang dokumentasi. Karena ketekunannya itu diluar tugas kedinasan dia melakukan kegiatan sebagai tukang foto.

Pekerjaan ini dilakukan dengan bahagia, karena telah merasa nyaman dan cocok dengan profesinya itu. Sehingga ketika melihat teman seangkatan telah beralih profesi dia tetap merasa bahagia dengan profesinya itu. Ternyata hasil kinerjanya menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini menurut dirinya sendiri juga menurut orang lain yang telah menggunakan jasanya.

Orang kadang menilai terhadap dirinya sendiri tidak bisa melakukan pekerjaan ini atau itu. Mungkin hal ini akan terpatahkan ketika ada seorang teman. Dia seorang Sarjana Agama namun dia sukses meniti karir sebagai pengusaha konfeksi. Kesuksesan ini bukan tanpa usaha, tetapi pekerjaan ini diawali dengan mengikuti kursus menjahid, kemudian mencoba membuka usaha sebagi penjahit. Pada awalnya dia melayani teman-temannya kemudian karena ketekunannya mulai dikenal dimasyarakat sehingga banyak orang yang ingin menjahitkan kain untuk pakaian anak-anaknya, suami, istri dan anggota keluarga yang lain.

Perkembangan usahanya ditingkatkan lagi sehingga mencoba membuat seragam sekolah yang dititipkan di toko-toko pakaian, pada awalnya hanya sedikit. Dari usaha sebagai tukang jahit kecil-kecilan sekarang menjadi pengusaha konveksi. Karyawannya banyak, mempunyai rumah sendiri, kendaraan dan kebutuhan-kebutuhan lain bisa tercukupi. Mengapa seorang Sarjana Agama bisa menjadi pengusaha konfeksi. Dia pernah berkata “Barang keton kuwi ora ana kang ora iso”, sesuatu yang kelihatan itu tidak ada yang tidak bisa dilakukan. Memang benar sesuatu yang kelihatan itu bisa dipelajari karena ketekunan, pelatihan secara terus-menerus, ulet, tidak patah semangat. Dan ternyata banyak lagi kisah orang sukses yang berlatar belakang pendidikan dan akademis yang berbeda. Kelihatannya tidak konek, namun bila dipelajari bahwa pendidikan adalah suatu proses membentuk pola fikir yang runtut, ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ternyata pekerjaan yang dilakukan dengan tekun akan membuahkan hasil, cita-citanya bisa terwujud.

Dengan banyaknya pelanggan dia merasa bahagia, pelanggan merasa puas dengan hasil kerjanya dia juga merasa bahagia, dia mendapatkan uang jasa juga merasa bahagia. Dia dapat membangun keluarga yang sakinah mawaddah dan rohmah juga bahagia, dia dapat membeli rumah, kendaraan, menyekolahkan anak-anaknya, dapat membantu lingkungan sekitar yang membutuhkan bantuan dia merasa bahagia. Bila bekerja, berkarya dan berpenghasilan sudah merasa bahagia mengapa meriasaukan dengan pekerjaannya itu. Coba bandingkan orang yang berganti-ganti pekerjaan, pekerjaan ini dan itu merasa tidak cocok, tentu tidak akan bahagia. Begitu pula tukang foto yang yang menurut temanku, dia seharusnya sudah dipromosikan menjadi pejabat namun dia tidak patah semangat karena dia merasa bahagia.

Dimanakah letak kebahagiaan tukang foto si tukang cari muka? Temanku sempat nyletuk, dia bahagia, karena dapat memperhatikan orang-orang cantik, dia pura-pura memfoto namun sejatinya dia sedang memperhatikan dan mengagumi kemolekannya. Dia kan bebas untuk melihat dari ujung rambut sampai ujung kaki, tidak ada yang mengahalanginya. Apakah mungkin seperti ini, yang mungkin saja, karena manusia mempunyai nafsu, namun bahagaimanakah bila bekerja itu menggunakan nafsu, yang terjadi akan berantakan.

Bagaimanakah bila dia memperhatikan aurat orang lain apakah tidak menambah dosa? Semua tergantung dari niatnya. Dan setiap amal itu tergantung dari niatnya, niat yang baik menjadikan usahanya akan tetap berkembang dan mendapatkan hasil yang barokah. Penghasilannya akan mendatangkan kebahagiaan, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Inilah bahwa perlunya berprasangka baik terhadap orang lain, bila hal itu profesi yang jelas baik mengapa mencari-cari kesalahannya. Hal ini akan merugikan diri sendiri.