6/05/2013

Riya' Hilangkan Pahala


Kisah seorang ahli ibadah, yang senantiasa mendarmabaktikan hidupnya untuk bersujud dan beribadah kepada Allah. Pada suatu malam setelah ahli ibadah tersebut makan sahur kemudian membaca Alquran surat Thaha, setelah selesai membaca surat tersebut dia terlelap tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi oleh seseorang yang turun dari langit sambil membawa secarik kertas. Secarik kertas tersebut ternyata isinya sama dengan Alquran yang baru saja di baca yaitu surat Thaha. Diperhatikan ayat Alquran tersebut bahwa dalam setiap huruf dibawahnya tertulis sepuluh kebaikan. Karena begitulah sifat rahman dan rahim Allah selalu melipatgandakan semua amalibadah hambanya, termasuk ketika membaca ayat-ayat Alquran.

Namun sungguh terkejutnya bahwa ternyata dalam tulisan itu ada beberapa ayat yang kosong (terhapus) dan dibawahnya tidak terdapat apa-apa. Dengan serta merta ahli ibadah memprotes, “Sungguh kalimat itu sudah saya baca tetapi mengapa menjadi kosong dan tidak ada nilainya? Kemudian orang yang membawa kertas itu berkata “ Kamu memang benar telah membacanya, dan kami telah menulisnya, namun kami mendengar orang berteriak-teriak memanggil dari Arasy, hapuskan kalimat itu dan hilangkan pahala dari kalimat tersebut, oleh karena itu kamipun kemudian menghapusnya.

Lalu dalam mimpi ahli ibadah tersebut menangis dan menanyakan mengapa dihapuskan, karena pada waktu kamu membaca, kamu mengetahui ada orang yang lewat kemudian kamu mengeraskan bacaanmu karena dia, setelah itu terhapuslah pahala dari bacaan tersebut. (Abu Thalhah Muh. Yunus Abdu Sattar, Raih Surga dengan beberapa menit (trj): 109)
Karena itu Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya' kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan (QS. Al Anfal: 47)

Mengingat hal tersebut, bagaimanakah dengan ibadah-ibadah yang lain, ketika infaq ingin dilihat oleh orang lain, ketika shalat nampak bertambah khusuk ketika disaksikan oleh orang lain. Bekerja bertambah giat ketika disaksikan oleh atasannya. Dan masih banyak lagi ibadah-ibadah yang lain yang seharusnya ditujukan untuk pengabdian diri kepada Allah namun berbalik pada harapan untuk memperoleh pujian dari hamba Allah. Ibadah yang demikian ini sesungguhnya menjadi ibadah yang sia-sia. Pada suatu saat Rasulullah SAW pernah bersabda:

اِنَّ اَخْوَفَ مَا اَخَافُ عَليْكُمُ الشِّرْكُ الْاَصْغَرُ قَالُواْ وَمَا الشِّرْكُ الْاَصْغَرَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ الرِّيَاءُ

“ Sesungguhnya perbuatan yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah syirik kecil, lalu sebagian sahabat bertanya: Apakah yang dimaksudkan dengan syirik kecil wahai rasul? Rasul menjawab yang dimaksudkan syirik kecil adalah riya’ (pamer) (HR. Ahmad, Attabrani, Bahaihaqi).

Sifat riya’ datangnya dengan tiba-tiba, kadang tidak diketahui dan tidak disadari, karena perilaku riya’ ini melebihi dari adat kebiasaan. Bahkan kadang timbul kekuatan lain diluar kemampuannya. Sehingga bila tidak disadari dan tidak menyadarkan diri niscaya ibadah yang dilakukan akan musnah. Karena sekalipun riya’ itu termasuk dalam kategori syiri’ yang kecil namun kalau terus dibiarkan akan menjadi kekuatan yang melumpuhkan keikhlasan. Allah pernah mengingatkan:
Sebagaimana firman Allah dalam surat Annisa’ ayat 48:
" Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar".

Karena itu sebaik-baik hamba Allah yang selalu meluruskan niat, menguatkan tekad, dan banyak melakukan kegiatan ibadah. Dengan demikian ibadah yang dilakukan akan terasa lebih ringan tanpa beban. Bagaimanakah hamba Allah akan dapat melaksanakan shalat dengan ikhlas dan khusuk bila hanya mengandalkan shalat fardhu saja (shalat Isa, Subuh, Zuhur, Ashar dan Maghrib). Bukankah Allah telah memberikan tuntunan ibadah shalat sunnah, banyak fadhilahnya namun mengapa tidak pernah dihiraukan. Semakin banyak menjalankan ibadah shalat sunnah ini maka ringan dalam menegakkan shalat, sehingga shalat benar-benar akan menjadi kebutuhan hidup. Dimanapun dan kapanpun selalu berupaya untuk mengakkan shalat.

Demikian pula dalam hal zakat, infaq dan shadaqah, akan menuntun hamba Allah menjadi hamba yang berjiwa sosial. Mempunyai kepekaan sosial yang tinggi, jiwa empati ketika melihat orang lain dalam kondisi kekurangan, kesempitan dan penderitaan maka akan muncul pada dirinya bagaimanakah bila menimpa pada dirinya. Mungkin bisa jadi akan sangat menderita, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, tidak ada gairah kerja dal lainnya. Karena itu dia berupaya untuk menghindarkan diri dari segala balak, musibah dan malapetaka dengan memperbanyak shadaqah. Karena sesungguhnya hikmah dari shadaqah dapat meningkatkan kepekaan sosial, dan rasa empati. Demikian pula dengan shadaqah akan dapat menolak balak serta shadaqah tidak akan mengurangi rizki.

Banyak kejadian orang yang dermawan menjadi orang yang dihormati dan disegani oleh orang lain, dermawan dapat menjadikan orang yang sehat jasmani dan rohani. Orang yang dermawan justru mengalami peningkatan dalam status ekonomi dan sosialnya. Begitulah janji Allah yang akan diberikan kepada hamba-Nya yang senantiasa menegakkan perintah-perintah-Nya. Karena itu agar ibadah yang kita lakukan menjadi menjadi ibadah yang ikhlas dan terhindar dari sikap riya’. Hendaknya dimulai dari sekarang, dimulai dari diri sendiri dan dimulai dari hal yang kecil untuk selalu menjalankan perintah Allah hanya semata-mata beribadah kepada-Nya.