5/17/2013

Kisah Sang Permadani


Naiknya taraf hidup masyarakat dan meningkatnya kesadaran beragama bagi umat Islam, terutama yang berkaitan dengan pengadaan fasilitas tempat ibadah, berdampak pada usaha perbaikan yang mengarah pada keindahan masjid. Dahulu kala alas tempat sujud di masjid, langgar atau musholla cukuplah dengan menggunakan tikar yang dirajud dari bahan mendong, kemudian meningkat dengan tikar yang terbuat dari plastik, meningkat lagi dengan menggunakan karpet dan meningkat lagi menggunakan tikar permadani yang sudah terlukis seperti lembar sajadah yang bergandeng. Nyaris dengan tikar permadani ini jumlah jama’ah disuatu masjid dapat dihitung.

Namun benarkan, realistiskah, ketika barisan shalat nampak berlubang-lubang seperti orang berbaris mau upacara dengan posisi setengah lengan. Memang sudah dimaklumi dua sajadah untuk dua orang, namun hal yang mungkin dua sajadah untuk tiga orang, atau tiga sajadah untuk empat orang. Hal ini karena postur tubuh jama’ah yang kecil-kecil dibandingkan dengan orang Timur Tengah yang besar-besar, kemungkinan satu permadani pas untuk mereka. Ada jama’ah yang belum paham dengan etika menegakkan shalat berjama’ah, mereka cenderung untuk merenggangkan shaf shalat karena mereka berpedoman bahwa jama’ah telah disediakan tempat sendiri dari permadani.

Ketika iqamah dikumandangkang oleh muazin sebagai tanda untuk segera menegakkan shalat jama’ah. Jama’ahpun segera bangkit dan bergegas untuk memenuhi shaf-shaf yang telah disediakan, namun ternyata ada jama’ah yang memilih mundur dari shaf semula, ketika jama’ah yang lain merapatkan barisan. Dengan ucapan menggerutu “jangan mepet-mepet”, ternyata ketika diajak untuk merapatkan barisan dia milih mundur, dan ternyata dibarisan belakangpun demikian pula mundur lagi, mundur dan terus mundur akhirnya mendapat shaf paling belakang, tidak ada yang merapatkan shafnya.

Maka orang yang demikian ini tidak memperoleh keutamaan shalat di shaf depan, shaf merapatkan barisan dan meluruskannya. Malah bisa jadi tidak memperoleh kekhusukan dalam shalat. Karena bacaan shalat berganti dengan perasaan dongkol. Karena itu pembangunan fisik hendaknya diikuti dengan pengembangan mental spiritual. Dengan kata lain iman, ilmu dan amal hendaknya seimbang berjalan beriringan yang pada akhirnya akan tercipta keseimbangan hidup dan implementasi ajaran Islam secara kaffah. Hal ini karena:
• Iman tanpa amal tidak akan sempurna
• Iman tanpa ilmu akan menjadi pengekor, bisa jadi iman akan mudah tumbang.
• Ilmu tanpa iman akan sesat
• Ilmu tanpa amal adalah munafik
• Amal tanpa iman tidak akan diterima
• Amal tanpa ilmu akan parsial.

Karena itu sebagai pedoman hidup muslim peganglah sunnah rasul, yang akan dijamin hidup akan selamat, bahagia dunia dan akherat.


أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا قَالَ يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ


“Tidakkah kalian berbaris sebagaimana malaikat berbaris di sisi Rabbnya?” Maka kami berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana malaikat berbaris di sisi Rabbnya?” Beliau bersabda, “Mereka menyempurnakan shaf-shaf pertama dan mereka rapat dalam shaf.” (HR. Muslim)


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلَاةِ وَيَقُولُ اسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ



“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap pundak kami ketika akan shalat seraya bersabda, “Luruskanlah, dan jangan berselisih sehingga hati kalian bisa berselisih. Hendaklah yang tepat di belakangku adalah orang yang dewasa yang memiliki kecerdasan dan orang yang sudah berakal di antara kalian, kemudian orang yang sesudah mereka, kemudian orang yang sesudah mereka.” (HR. Muslim)

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ



“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”. (HR. Muslim)


كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ. ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ: عِبَادَ اللهِ ! لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ



“Dulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Maka beliau bersabda, “Wahai para hamba Allah, kalian akan benar-benar akan meluruskan shaf kalian atau Allah akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.” (HR.Muslim)


أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ


“Tegakkanlah shaf-shaf kalian dan rapatkan karena sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggungku”. (HR. Bukhari )

Dengan pedoman dari hadits Rasulullah SAW itu semakin jelas bahwa merapatkan shaf dan juga meluruskan adalah merupakan keutamaan menegakkan shalat berjama’ah. Bahkan menurut Ustadz Abu Sangkan bahwa dengan menempelnya satu bahu dengan yang lain akan mengikat maknet, sehingga kekhusukan akan berpengaruh pada jama’ah sisi kanan dan kirinya.